MAQSHODUL AM MIN
TASYRI’ (TUJUAN UMUM PEMBUATAN HUKUM)
Makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugasUshul Fiqh II
Dosen: Khoirun Nasik.SHI.,MHI.
![Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3GBz_EbubJoJxQC5DpnfOGp-nJEXJ3R1JK4FhNaw20GyITuNhfOakTyaN-nSxm_nOKqLYXuYkpwUx5nyNEt09b1Zc5979tvkFefXNZQ1ttj2uExqdnmMicaZRx4pxcC2huDpgVe7y488/s1600/logotrunojoyoterbaru.jpg](file:///C:\Users\ASUS\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg)
Disusun oleh:
Devi Nur Afilah (130711100095)
Arum Hidayah (130711100044)
Sunarto (130711100100)
HUKUM BISNIS SYARI’AH -
C
FAKULTAS ILMU - ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap
alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik
serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah ini dengan baik untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian
tugas Ushul Fiqih II pada Program Studi
Hukum Bisnis Syari’ah. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen
pembimbing yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini dengan baik.
Serta tidak segan-segan kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang
sedikit banyaknya membantu dalam proses penulisan makalah ini.
Makalah ini kami susun untuk menambah wawasan serta
pengetahuan para pembaca tentang “Maqshodatul am min Tasyri’ ”. Kami
mengharapkan agar makalah ini dapat membantu dalam hal peningkatan kompetensi
yang baik bagi para pembaca pada umumnya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih
banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara penulisan makalah ini,
karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah
ini sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca
pada umumnya dan juga bermanfaat bagi penulis khususnya.
Bangkalan, 28 April 2015
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang
semakin pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah umatnya dalam tataran konsep
maupun praktik sedikit demi sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh
paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di satu sisi terdapat
sekelompok umat Islam yang secara gigih mengupayakan pemberlakuan
syari’at Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung menjurus ke arah
penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang dibarengi
dengan aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan i ni, jelas
tidak simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang Islam sekalipun.
Bagaimanapun, upaya pemahaman dan penegakan syari’at Islam adalah sebuah
keharusan. Dan tentunya, dalam mensosialisasikannya, haruslah secara arif.
Kendati mengharuskan umatnya untuk tunduk pada segala aturannya, namun melalui
tata aturan syari’at, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan
tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam terminologi
syari’at, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal dengan istilah
maqashid al syariah. Melalui pendekatan semacam inilah, pemahaman
syari’at Islam lebih menemukan ruh dan substansinya.
Oleh karenanya kami menyusun makalah ini guna untuk mengetahui lebih dalan
tentang Maqshodul am min Tasyri’.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa
itu Maqshodul am min Tasyri’?
2.
Bagaimana
Syari’at terhadap dloruriyatul khoms, Hajiyat dan Tahsiniyat?
3. Bagaimana tertib hukum syara’ menurut tujuan.
C.
TUJUAN
1.
Untuk
mengetahui apa itu Maqshodul am min Tasyri’
2.
Untuk
mengetahui Syari’at terhadap dloruriyatul
khoms, Hajiyat, dan Tahsiniyat.
3.
Untuk
mengetahui tertib hukum Syara’
menurut tujuan.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
Maqshodul
am min Tasyri’
Maqshodul am min Tasyri’ secara bahasa
berasal dari kata Maqasid. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti
kesengajaan atau tujuan.[1]
Tulisan
berdasarkan Dirasat fi Fiqh Maqashid Asy-Syari’ah (Baina al-Maqashid
al-kulliyyah wa an-Nushush al-Juz’iyyah) oleh Dr. Yusuf al-Qardhaw. Dienul
Islam adalah cara hidup yang paling sempurna yang membawa rahmatan lil
‘alamin. Ianya terus hidup dan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman
dan segala keadaan yang dihadapi oleh umatnya, elastik dan tidak stagnan. Allah
Maha Bijaksana (Al-Hakim), di mana Dia tidak menciptakan sesuai dengan
main-main atau penuh dengan kebathilan. Dia tidak akan membuat sesuatu hukum
untuk sia-sia atau menunjuk-nunjuk kerana Allah swt. sama sekali tidak
memerlukan kepada hamba-hambaNya. Segala diperintah, dilarang, dihalalkan,
diharamkan dan didiamkan adalah untuk kemaslahatan manusia agar mereka jauh
daripada kesesatan dan kerosakan.
Ibnu
Qayyim menjelaskan bahwa dasar dan asas syari’at adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan syari’at.
Umat
Islam adalah umat yang diharapkan untuk memimpin umat manusia ke arah rahmat
dan keadilan, bukannya membawa manusia jauh dengan pelbagai kesimpulan yang
bengis dan menakutkan atau pun lembik yang menjadi hamba kepada kemahuan pihak
lain. Ini terjadi apabila maksud-maksud syari’at gagal difahami dalam bingkai
konnashnya seperti manhaj orang-orang nashtual yang memahami nash-nash dengan
terfokus kepada zahir dan literalnya, dan tidak melihat kepada makna, pokok
(substance) dan hakikat. Adapun golongan yang dibaratkan, baik sekular, liberal
dan marxis, mereka menolak segala hal yang berhubungan dengan Islam, dan
berkiblatkan London, Washington, Paris dan sebagaimana dengan mengatasnamakan
maqasid syari’at.
B.
Syari’at
terhadap dloruriyatul khoms, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Tujuan konsep maqasid Syari’ah adalah untuk
menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia
secara umum, khususnya umat Islam. Aspek yang dilindungi meliputi 3 hal :
daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.[2]
1.
Syari’at
terhadap dloruriyatul khoms
Dloruriyatul khoms atau daruriyat artinya kebutuhan yang mendesak, pokok,
dan harus terpenuhi. Kebutuhan daruriyat dianggap esensial jika kalau tidak
terpenuhi akan terjadi kekacauan secara menyeluruh. Menurut Hallaq, daruriyat
mengandung dua pengertian: Pertama, kebutuhan itu harus diwujudkan atau
diperjuangkan, kedua, segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan
tersebut harus disingkirkan.[3]
Menurut As-Syatibi yang termasuk kategori daruriyat adalah lima perkara yang
harus mendapat prioritas perlindungan, yaitu: agama (ad-din), jiwa (al-nafs), akal (al’aql), harta
(al-maal), dan keturunan (an-nasl)
a. Memelihara Agama ( (
الدين
Syariat mewujudkan
agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan segala
konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dll.
Dasar – dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat
juga menjaga agama ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar
makruf dan nahi mungkar.[4]
b.
Memelihara Jiwa ( النفس )
Syariat mewujudkannya
dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak keturunan dan
generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan
mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia.
Begitupula ketika Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa
manusia[5]
c.
Memelihara akal ( العقل )
Merupakan karunia Allah
yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya dengan tidak
mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar. dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu
dengan menuntut ilmu dan melatih berikir positif; dan menjaga akal dari segi
segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan memberikan had al-syurb
(sanksi hukuman) bagi yang mengkonsumsi meminuman keras dan narkoba
d.
Memelihara harta (المال )
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah
syariat, mewajibkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat
menjaga harta dengan mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan
menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta
tersebut.
Dari
segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan menganjurkan untuk
bekerja dan mencari rezeki yang halal; dan menjaga harta dari segi segi
ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan melarang untuk melakukan
kencurian dan penipuan terhadap harta orang lain dan memberi sanksi had
al-sariqah (sanksi pencurian dan penipuan) bagi yang melakukannya
e. Memelihara Keturunan(النسل)
Disyariatkan menikah
untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan menjauhi
hal-hal yang dapat menjeerumuskan ke zina.[6]
Begitupula dengan diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan
zina. dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud)
yaitu dengan menganjurkan untuk melakukan pernikahan; dan menjaga keturunan /
harga diri dari segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan
memberikan sanksi had al-zina (sanksi perzinaan) bagi yang melakukan hubungan
intim di luar pernikahan.
2. Syariat terhadap Hajiyat
Hajiyat
secara bahasa artinya kebutuhan. Dalam pembahasan ini hajiyat dimaksudkan
sebagai aspek-aspek yang dibutuhkan dalam rangka kebutuhan daruri. Artinya,
dengan terpenuhinya kebutuhan hajiyat, dapat menghindari kesulitan pencapaian
kebutuhan daruriyat. Namun jika kebutuhan hajiyat ini tidak terpenuhi, tidak
sampai merusak keberadaan kebutuhan daruriyat. Hanya saja, jika tidak terpenuhi
akan terjadi ketidaksempurnaan dalam kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu
Hajiyat sering diidentifikasi dengan kebutuhan sekunder.
Sebagai
contoh misalnya pelaksanaan shalat. Shalat adalah kebutuhan daruri untuk
menjaga agama (hifz ad-din). Dalam shalat diperlukan suatu tempat yang kondusif
sehingga, orang dapat melaksanakannya dengan Khusyu’ . maka perlu dibangun
sebuah masjid yang dapat menjadi tempat shalat secara khusyu’. Tanpa masjid
orang dapat melakukan shalat, dalam arti tidak terjadi kehancuran jika shalat
tidak di Masjid, tetapi dengan adanya masjid maka akan menyempurnakan pelaksanaan
Shalat tersebut.
Begitu
juga dengan mendrika lembaga pendidikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan daruri
yang lain, yaitu pemeliharaan akal. Tanpa bangunan sekolah, pendidikan tidak
akan berhenti, tetapi dengan adanya bangunan sekolah, maka akan mendunkung
pemeliharaan terhadap akal manusia.[7]
3.
Syari’at
terhadap Tahsiniyat
Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna. Dalam
pembahasan ini tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang dapat
menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat dari tahsiniyat
ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, terutama dari faktor estetika.
Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya akan mengurangi
keindahannya saja. Oleh karena itukebutuhan ini sering dinamakan kebutuhan
tersier.
Sebagai contoh misalnya memperindah bangunan masjid, dengan
dilengkapi sarana pendukung yang lain dan diperindah dengan ornamen-ornamen
yang membuat suasana lebih estetis. Hal ini diperbolehkan selama dalam
pelaksanaannya tidak memberatkan, artinya sesuai batas-batas kemampuan manusia.
Meskipun bersifat tersier, faktor kemaslahatan tetap menjadi pertimbangan
utama, yang penting tidak bertentangan dengan nas. Pelaksanaan pemenuhan
kebutuhan ini tidak boleh berlebih-lebihan.
Ketiga kemaslahatan diatas memiliki kaitan yang erat antara satu
sama lain terutama dari sisi fungsinya. Daruriyat menjadi prioritas utama,
hajiyat melengkapi yang utama, dan tahsiniyat menyempurnakan pemenuhannya.
Daruriyat berkedudukan sebagai dasar bagi perlunya hajiyat dan tahsiniyat.[8]
C.
Tertib
Hukum Syara’ Menurut Tujuan
Tujuan hukum harus
ditemukan untuk mengetahui apakah suatu kasus masih relevan ditetapkan dengan
ketentuan hukum yang sudah ada ketika terjadi perubahan struktur sosial.
Sedangkan untuk tujuan maqasid syari’ah yakni untuk menegakkan kemaslahatan
sebagai unsure pokok tujuan hukum. Kedudukannya adalah sebagai metode
pengembangan-pengembangan nilai-nilai yang terkandung dalam syari’ah dan
menjadi jiwa hukum Islam dan menghadapi perubahan sosial. Oleh karena itu
konsep ini sangat penting untuk menjadi alat analisis mengistimbathkan hukum
dengan melihat realitas sosial yang terus berkembang. Dengan demikian dapat
dilihat dinamika dan pengembangan hukum berdasarkan nilai filosofis dari
hukum-hukum yang di syari’atkan oleh Tuhan kepada manusia.
Imam
Asy-syatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu:
1.
Tujuan utama syariah adalah mencapai
kemaslahatan dunia dan akhirat.
2.
Syariah adalah sesuatu yang harus
dipahami manusia.
3.
Syariah adalah suatu hukum taklify yang harus
dilakukan.
4.
Tujuan syariah adalah membawa manusia ke
dalam naungan dan perlindungan hukum.
Konsep
masaqid syari’ah dapat menjadi metode dalam pengembangan hukum islam agar agar
adaktif terhadap perubahan sosial. Prinsip-prinsip dalam masaqid syari’ah ditunjukkan
untuk membangun hukum yang mengedepankan sisi humanis manusia sebagai subyek
sekaligus obyek hukum. Konsep ini dapat menjadialat analisis terhadap
permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi
kemaslahatannya, dengan cara melihat ruh syari’ah dan tujuan umum dari agama Islam. Dalam implementasinya perlu
diupayakan pemanfaatan ilmu-ilmu lain sebagai alat analisis dan pendekatan
dalam memahami permaslahan yang terjadi dalam masyarakat.
Kajian
dalam masaqid syari’ah menitik beratkan pada pencarian nilai-nilaiyang berupa
kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Setiap taklif
diciptakan oleh syari’ dalam rangka merelesiasikan kemaslahatan hamba. Tidak
satupun hukum Allah yang tidak memiliki tujuan.secara hakiki tujuan taklif
dalam hukum Islam adalah kemaslahatan, ehingga setiap hukum yang di isyaratkan
dalam Al-Qur’an maupun sunnah terdapat kemaslahatan di dalamnya. Melalui
maqasid syaria’ah akan dapat dibangun sebuah hukum yang berfungsi social
energering, dengan melihat konteks kehidupan masyarakat pada saat hukum
tersebut ditetapkan.
Konsep
maqasid syari’ah juga betrfungsi mendekatkan nas-nas syari’ ke dalam kehidupan
nyata. Dalam arti membumikan syari’at Islam. Aturan-aturan dalam syariat Islam
perlu ditemukan kemaslahatannya sewaktu diwahyukan.untuk kemudian dianalogikan
dengan konteks masyarakat sekarang.sehingga adaptasi wahyu ke dalam realitas
sosial terjadi secara inculturatif.wahyu tetap berkedudukan sebagai guide
yang universal sehingga tidak ada kesan penundukan wahyu terhadap kepentingan
sosial masyarakat.
Dalam
meneteapkan maqasid syari’ah suatu hukum, ulama terbagi dalam empat kelompok,
yaitu:
1.
Kelompok Zahiriyah, berpendapat bahwa
maqasid syari’ah adalah suatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali
melalui zahir teksnya. Maka penetapan maqasid syari’ah adalah menurut makna
lahir sehingga tidak memerlukan penelitian lebih dalam.
2.
Kelompok Batiniyah, berpendapatbahwa
maqasid syari’ah dapat ditetapkan melalui sesuatu yang ada dibalik zahir lafal
dan terdapat dalam semua aspek syari’ah , sehingga zahir lafal tidak dapat
dijadikan peganggan dalam penentuannya.
3.
Kelompok Muta’ammiqin fil qiyas,
berkeyakinan bahwa maqasid syari’ah dikaitkan dengan pengertian –pengertian
lafal, tetapi zahir lafal tidak mesti mengandung tujuan mutlak. Jika terjadi
pertentangan antara zahir lafal dengan ra’y, maka yang dimenangkan adalah
ra’yunya.
4.
Kelompok Rasikhun, menhyatakan bahwa
maqasid syari’ah dapat ditetapkan melalui zahir lafal dan ra’y dalam bentuk
yang tidak merusak pengertian zahir lafaldan kandungan maknanya, agar syariah
tetap berjalan dengan harmonis tanpa kontradiksi.[9]
BAB 3
KESIMPULAN
Maqshodul am min Tasyri’ secara bahasa
berasal dari kata Maqasid. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti
kesengajaan atau tujuan. Tujuan konsep maqasid Syari’ah adalah untuk menjamin,
memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum,
khususnya umat Islam. Aspek yang dilindungi meliputi 3 hal : daruriyat,
hajiyat, dan tahsiniyat.
Dloruriyatul khoms atau daruriyat artinya kebutuhan
yang mendesak, pokok, dan harus terpenuhi. Hajiyat secara bahasa artinya
kebutuhan. Dalam pembahasan ini hajiyat dimaksudkan sebagai aspek-aspek yang
dibutuhkan dalam rangka kebutuhan daruri. Artinya, dengan terpenuhinya
kebutuhan hajiyat, dapat menghindari kesulitan pencapaian kebutuhan daruriyat. Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal
penyempurna. Dalam pembahasan ini tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang
dapat menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat dari
tahsiniyat ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, terutama dari faktor
estetika. Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya akan
mengurangi keindahannya saja. Oleh karena itukebutuhan ini sering dinamakan
kebutuhan tersier.
Imam Asy-syatibi
membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu:
1.
Tujuan utama syariah adalah mencapai
kemaslahatan dunia dan akhirat.
2.
Syariah adalah sesuatu yang harus
dipahami manusia.
3.
Syariah adalah suatu hukum taklify yang
harus dilakukan.
4.
Tujuan syariah adalah membawa manusia ke
dalam naungan dan perlindungan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Shadiqin , Ali. Fiqh Ushul Fiqh.
Beranda.Yogyakarta.2012
Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam
DR. Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh,
Penerbit Muasasah Ar Risaalah, Beirut 1427H/2006M -cetakan ke 15
[1]
Hans wehr, a dictionary of modern written Arabic (London: Mac Donald & Evan
Ltd., 1980), hlm.767.
[2]
Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.169.
[3]
Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, hlm.248
[4] DR.
Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit Muasasah Ar
Risaalah, Beirut 1427H/2006M -cetakan ke 15
[5]
al Mustashfa
Karya Abu Hamid Al Ghazali kitab Al Mustashfa hlm. 21
[6]
Ibid.
[7]
Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.174-175
[8]
Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.175-176
[9]
Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.166-168
Tidak ada komentar:
Posting Komentar