Jumat, 04 Desember 2015

Maqshodul am-min Tasyri (tujuan Utama pembentukan Hukum)

MAQSHODUL AM MIN TASYRI’ (TUJUAN UMUM PEMBUATAN HUKUM)
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugasUshul Fiqh II
Dosen: Khoirun Nasik.SHI.,MHI.
Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3GBz_EbubJoJxQC5DpnfOGp-nJEXJ3R1JK4FhNaw20GyITuNhfOakTyaN-nSxm_nOKqLYXuYkpwUx5nyNEt09b1Zc5979tvkFefXNZQ1ttj2uExqdnmMicaZRx4pxcC2huDpgVe7y488/s1600/logotrunojoyoterbaru.jpg

Disusun oleh:

Devi Nur Afilah          (130711100095)
Arum Hidayah            (130711100044)
Sunarto                        (130711100100)

HUKUM BISNIS SYARI’AH - C
FAKULTAS ILMU - ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2015/2016
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian tugas Ushul Fiqih II  pada Program Studi Hukum Bisnis Syari’ah. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini dengan baik. Serta tidak segan-segan kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sedikit banyaknya membantu dalam proses penulisan makalah ini.
Makalah ini kami susun untuk menambah wawasan serta pengetahuan para pembaca tentang “Maqshodatul am min Tasyri’ ”. Kami mengharapkan agar makalah ini dapat membantu dalam hal peningkatan kompetensi yang baik bagi para pembaca pada umumnya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara penulisan makalah ini, karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan juga bermanfaat bagi penulis khususnya.


Bangkalan, 28 April 2015

  Penyusun



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Di tengah perkembangan kemajuan dunia dengan tingkat peradaban manusia yang semakin pesat, keberadaan syari’at Islam di tengah umatnya dalam tataran konsep maupun praktik sedikit demi sedikit telah tergeser dan tergantikan oleh paradigma pragmatis manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Di satu sisi terdapat sekelompok  umat Islam yang secara gigih mengupayakan pemberlakuan syari’at Islam secara utuh. Sikap idealis mereka cenderung menjurus ke arah penentangan hegemoni budaya barat secara frontal, bahkan tak jarang dibarengi dengan aksi-aksi fisik yang kerap dicap sebagai teror. Tindakan i ni, jelas tidak simpatik, bahkan dalam pandangan mayoritas orang Islam sekalipun. Bagaimanapun, upaya pemahaman dan penegakan syari’at Islam adalah sebuah keharusan. Dan tentunya, dalam mensosialisasikannya, haruslah secara arif. Kendati mengharuskan umatnya untuk tunduk pada segala aturannya, namun melalui tata aturan syari’at, Islam hadir untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan tertentu serta hikmah di balik pemberlakuan hukum-hukumnya. Dalam terminologi syari’at, cita-cita, dan tujuan serta hikmah tersebut dikenal dengan istilah maqashid al syariah. Melalui pendekatan semacam inilah, pemahaman syari’at Islam lebih menemukan ruh dan substansinya.
Oleh karenanya kami menyusun makalah ini guna untuk mengetahui lebih dalan tentang Maqshodul am min Tasyri’.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu Maqshodul am  min Tasyri’?
2.      Bagaimana Syari’at terhadap dloruriyatul khoms, Hajiyat dan Tahsiniyat?
3.      Bagaimana tertib hukum syara’ menurut tujuan.


C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui apa itu Maqshodul am min Tasyri’
2.      Untuk mengetahui Syari’at terhadap dloruriyatul khoms, Hajiyat, dan Tahsiniyat.
3.      Untuk mengetahui tertib hukum  Syara’ menurut  tujuan.


















BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Maqshodul am  min Tasyri’
Maqshodul am min Tasyri’ secara bahasa berasal dari kata Maqasid. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[1]
Tulisan berdasarkan Dirasat fi Fiqh Maqashid Asy-Syari’ah (Baina al-Maqashid al-kulliyyah wa an-Nushush al-Juz’iyyah) oleh Dr. Yusuf al-Qardhaw. Dienul Islam adalah cara hidup yang paling sempurna yang membawa rahmatan lil ‘alamin. Ianya terus hidup dan senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman dan segala keadaan yang dihadapi oleh umatnya, elastik dan tidak stagnan. Allah Maha Bijaksana (Al-Hakim), di mana Dia tidak menciptakan sesuai dengan main-main atau penuh dengan kebathilan. Dia tidak akan membuat sesuatu hukum untuk sia-sia atau menunjuk-nunjuk kerana Allah swt. sama sekali tidak memerlukan kepada hamba-hambaNya. Segala diperintah, dilarang, dihalalkan, diharamkan dan didiamkan adalah untuk kemaslahatan manusia agar mereka jauh daripada kesesatan dan kerosakan.
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa dasar dan asas syari’at adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan syari’at.
Umat Islam adalah umat yang diharapkan untuk memimpin umat manusia ke arah rahmat dan keadilan, bukannya membawa manusia jauh dengan pelbagai kesimpulan yang bengis dan menakutkan atau pun lembik yang menjadi hamba kepada kemahuan pihak lain. Ini terjadi apabila maksud-maksud syari’at gagal difahami dalam bingkai konnashnya seperti manhaj orang-orang nashtual yang memahami nash-nash dengan terfokus kepada zahir dan literalnya, dan tidak melihat kepada makna, pokok (substance) dan hakikat. Adapun golongan yang dibaratkan, baik sekular, liberal dan marxis, mereka menolak segala hal yang berhubungan dengan Islam, dan berkiblatkan London, Washington, Paris dan sebagaimana dengan mengatasnamakan maqasid syari’at.
B.     Syari’at terhadap dloruriyatul khoms, Hajiyat, dan Tahsiniyat
Tujuan konsep maqasid Syari’ah adalah untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya umat Islam. Aspek yang dilindungi meliputi 3 hal : daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.[2]
1.      Syari’at terhadap dloruriyatul khoms
Dloruriyatul khoms atau daruriyat artinya kebutuhan yang mendesak, pokok, dan harus terpenuhi. Kebutuhan daruriyat dianggap esensial jika kalau tidak terpenuhi akan terjadi kekacauan secara menyeluruh. Menurut Hallaq, daruriyat mengandung dua pengertian: Pertama, kebutuhan itu harus diwujudkan atau diperjuangkan, kedua, segala hal yang dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan tersebut harus disingkirkan.[3] Menurut As-Syatibi yang termasuk kategori daruriyat adalah lima perkara yang harus mendapat prioritas perlindungan, yaitu: agama (ad-din),  jiwa (al-nafs), akal (al’aql), harta (al-maal), dan keturunan (an-nasl)
a.       Memelihara Agama (        ( الدين
Syariat mewujudkan agama dengan syarat dan rukunnya dari mulai iman, syahadat dengan segala konsekwensinya, akidah yang mencakup keimanan atas hari kebangkitan, hisab dll. Dasar – dasar ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Selain itu syariat juga menjaga agama ini dengan mensyariatkan dakwah, kewajiban berjihad, amar makruf dan nahi mungkar.[4]
b.      Memelihara Jiwa ( النفس  )
Syariat mewujudkannya dengan menikah, karenanya akan menyehatkan jiwa, memperbanyak keturunan dan generasi penerus. Disamping itu, syariat mewajibkan menjaga jiwa dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak berbahaya bagi jiwa manusia. Begitupula ketika Allah mensyariatkan qishah yang tujuannya untuk menjaga jiwa manusia[5]
c.       Memelihara akal ( العقل )
Merupakan karunia Allah yang paling berharga, sehingga manusia diwajibkan menjaganya dengan tidak mengkonsumsi segala hal yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar. dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menuntut ilmu dan melatih berikir positif; dan menjaga akal dari segi segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan memberikan had al-syurb (sanksi hukuman) bagi yang mengkonsumsi meminuman keras dan narkoba
d.      Memelihara harta (المال )
Syariat membolehkan segala jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta dengan mengharamkan mencuri, menghikangkan harta orang lain dan menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggungjawab atas harta tersebut.
Dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) iaitu dengan menganjurkan untuk bekerja dan mencari rezeki yang halal; dan menjaga harta dari segi segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan melarang untuk melakukan kencurian dan penipuan terhadap harta orang lain dan memberi sanksi had al-sariqah (sanksi pencurian dan penipuan) bagi yang melakukannya
e.       Memelihara Keturunan(النسل)
Disyariatkan menikah untuk memperbanyak keturunan, kemudian syariat menjaganya dengan menjauhi hal-hal yang dapat menjeerumuskan ke zina.[6] Begitupula dengan diharamkannya menuduh wanita-wanita yang baik dengan tuduhan zina. dari segi keberadaannya (min nahiyat al-wujud) yaitu dengan menganjurkan untuk melakukan pernikahan; dan menjaga keturunan / harga diri dari segi ketidak-adanya (min nahiyat al-‘adam) iaitu dengan memberikan sanksi had al-zina (sanksi perzinaan) bagi yang melakukan hubungan intim di luar pernikahan.
2.      Syariat terhadap Hajiyat
Hajiyat secara bahasa artinya kebutuhan. Dalam pembahasan ini hajiyat dimaksudkan sebagai aspek-aspek yang dibutuhkan dalam rangka kebutuhan daruri. Artinya, dengan terpenuhinya kebutuhan hajiyat, dapat menghindari kesulitan pencapaian kebutuhan daruriyat. Namun jika kebutuhan hajiyat ini tidak terpenuhi, tidak sampai merusak keberadaan kebutuhan daruriyat. Hanya saja, jika tidak terpenuhi akan terjadi ketidaksempurnaan dalam kebutuhan pokok manusia. Oleh karena itu Hajiyat sering diidentifikasi dengan kebutuhan sekunder.
Sebagai contoh misalnya pelaksanaan shalat. Shalat adalah kebutuhan daruri untuk menjaga agama (hifz ad-din). Dalam shalat diperlukan suatu tempat yang kondusif sehingga, orang dapat melaksanakannya dengan Khusyu’ . maka perlu dibangun sebuah masjid yang dapat menjadi tempat shalat secara khusyu’. Tanpa masjid orang dapat melakukan shalat, dalam arti tidak terjadi kehancuran jika shalat tidak di Masjid, tetapi dengan adanya masjid maka akan menyempurnakan pelaksanaan Shalat tersebut.
Begitu juga dengan mendrika lembaga pendidikan sebagai upaya memenuhi kebutuhan daruri yang lain, yaitu pemeliharaan akal. Tanpa bangunan sekolah, pendidikan tidak akan berhenti, tetapi dengan adanya bangunan sekolah, maka akan mendunkung pemeliharaan terhadap akal manusia.[7]
3.      Syari’at terhadap Tahsiniyat
Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna. Dalam pembahasan ini tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang dapat menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat dari tahsiniyat ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, terutama dari faktor estetika. Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya akan mengurangi keindahannya saja. Oleh karena itukebutuhan ini sering dinamakan kebutuhan tersier.
Sebagai contoh misalnya memperindah bangunan masjid, dengan dilengkapi sarana pendukung yang lain dan diperindah dengan ornamen-ornamen yang membuat suasana lebih estetis. Hal ini diperbolehkan selama dalam pelaksanaannya tidak memberatkan, artinya sesuai batas-batas kemampuan manusia. Meskipun bersifat tersier, faktor kemaslahatan tetap menjadi pertimbangan utama, yang penting tidak bertentangan dengan nas. Pelaksanaan pemenuhan kebutuhan ini tidak boleh berlebih-lebihan.
Ketiga kemaslahatan diatas memiliki kaitan yang erat antara satu sama lain terutama dari sisi fungsinya. Daruriyat menjadi prioritas utama, hajiyat melengkapi yang utama, dan tahsiniyat menyempurnakan pemenuhannya. Daruriyat berkedudukan sebagai dasar bagi perlunya hajiyat dan tahsiniyat.[8]

C.     Tertib Hukum Syara’ Menurut Tujuan

Tujuan hukum harus ditemukan untuk mengetahui apakah suatu kasus masih relevan ditetapkan dengan ketentuan hukum yang sudah ada ketika terjadi perubahan struktur sosial. Sedangkan untuk tujuan maqasid syari’ah yakni untuk menegakkan kemaslahatan sebagai unsure pokok tujuan hukum. Kedudukannya adalah sebagai metode pengembangan-pengembangan nilai-nilai yang terkandung dalam syari’ah dan menjadi jiwa hukum Islam dan menghadapi perubahan sosial. Oleh karena itu konsep ini sangat penting untuk menjadi alat analisis mengistimbathkan hukum dengan melihat realitas sosial yang terus berkembang. Dengan demikian dapat dilihat dinamika dan pengembangan hukum berdasarkan nilai filosofis dari hukum-hukum yang di syari’atkan oleh Tuhan kepada manusia.
Imam Asy-syatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu:
1.      Tujuan utama syariah adalah mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
2.      Syariah adalah sesuatu yang harus dipahami manusia.
3.      Syariah adalah suatu hukum taklify yang harus dilakukan.
4.      Tujuan syariah adalah membawa manusia ke dalam naungan dan perlindungan hukum.
Konsep masaqid syari’ah dapat menjadi metode dalam pengembangan hukum islam agar agar adaktif terhadap perubahan sosial. Prinsip-prinsip dalam masaqid syari’ah ditunjukkan untuk membangun hukum yang mengedepankan sisi humanis manusia sebagai subyek sekaligus obyek hukum. Konsep ini dapat menjadialat analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang tidak ditemukan secara jelas dimensi kemaslahatannya, dengan cara melihat ruh syari’ah dan tujuan umum dari  agama Islam. Dalam implementasinya perlu diupayakan pemanfaatan ilmu-ilmu lain sebagai alat analisis dan pendekatan dalam memahami permaslahan yang terjadi dalam masyarakat.
Kajian dalam masaqid syari’ah menitik beratkan pada pencarian nilai-nilaiyang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang diturunkan Allah. Setiap taklif diciptakan oleh syari’ dalam rangka merelesiasikan kemaslahatan hamba. Tidak satupun hukum Allah yang tidak memiliki tujuan.secara hakiki tujuan taklif dalam hukum Islam adalah kemaslahatan, ehingga setiap hukum yang di isyaratkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah terdapat kemaslahatan di dalamnya. Melalui maqasid syaria’ah akan dapat dibangun sebuah hukum yang berfungsi social energering, dengan melihat konteks kehidupan masyarakat pada saat hukum tersebut ditetapkan.
Konsep maqasid syari’ah juga betrfungsi mendekatkan nas-nas syari’ ke dalam kehidupan nyata. Dalam arti membumikan syari’at Islam. Aturan-aturan dalam syariat Islam perlu ditemukan kemaslahatannya sewaktu diwahyukan.untuk kemudian dianalogikan dengan konteks masyarakat sekarang.sehingga adaptasi wahyu ke dalam realitas sosial terjadi secara inculturatif.wahyu tetap berkedudukan sebagai guide yang universal sehingga tidak ada kesan penundukan wahyu terhadap kepentingan sosial masyarakat.
Dalam meneteapkan maqasid syari’ah suatu hukum, ulama terbagi dalam empat kelompok, yaitu:
1.      Kelompok Zahiriyah, berpendapat bahwa maqasid syari’ah adalah suatu yang abstrak, tidak dapat diketahui kecuali melalui zahir teksnya. Maka penetapan maqasid syari’ah adalah menurut makna lahir sehingga tidak memerlukan penelitian lebih dalam.
2.      Kelompok Batiniyah, berpendapatbahwa maqasid syari’ah dapat ditetapkan melalui sesuatu yang ada dibalik zahir lafal dan terdapat dalam semua aspek syari’ah , sehingga zahir lafal tidak dapat dijadikan peganggan dalam penentuannya.
3.      Kelompok Muta’ammiqin fil qiyas, berkeyakinan bahwa maqasid syari’ah dikaitkan dengan pengertian –pengertian lafal, tetapi zahir lafal tidak mesti mengandung tujuan mutlak. Jika terjadi pertentangan antara zahir lafal dengan ra’y, maka yang dimenangkan adalah ra’yunya.
4.      Kelompok Rasikhun, menhyatakan bahwa maqasid syari’ah dapat ditetapkan melalui zahir lafal dan ra’y dalam bentuk yang tidak merusak pengertian zahir lafaldan kandungan maknanya, agar syariah tetap berjalan dengan harmonis tanpa kontradiksi.[9]



BAB 3
KESIMPULAN
Maqshodul am min Tasyri’ secara bahasa berasal dari kata Maqasid. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Tujuan konsep maqasid Syari’ah adalah untuk menjamin, memberikan perlindungan dan melestarikan kemaslahatan bagi manusia secara umum, khususnya umat Islam. Aspek yang dilindungi meliputi 3 hal : daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat.
Dloruriyatul khoms atau daruriyat artinya kebutuhan yang mendesak, pokok, dan harus terpenuhi. Hajiyat secara bahasa artinya kebutuhan. Dalam pembahasan ini hajiyat dimaksudkan sebagai aspek-aspek yang dibutuhkan dalam rangka kebutuhan daruri. Artinya, dengan terpenuhinya kebutuhan hajiyat, dapat menghindari kesulitan pencapaian kebutuhan daruriyat. Secara bahasa tahsiniyat berarti hal-hal penyempurna. Dalam pembahasan ini tahsiniyat didefinisikan sebagai hal-hal yang dapat menyempurnakan pemenuhan kebutuhan daruriyat dan hajiyat. Sifat dari tahsiniyat ini adalah menuju peningkatan martabat manusia, terutama dari faktor estetika. Kehadirannya akan memperindah dan ketidakhadirannya hanya akan mengurangi keindahannya saja. Oleh karena itukebutuhan ini sering dinamakan kebutuhan tersier.
Imam Asy-syatibi membagi empat aspek maqasid syari’ah, yaitu:
1.      Tujuan utama syariah adalah mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
2.      Syariah adalah sesuatu yang harus dipahami manusia.
3.      Syariah adalah suatu hukum taklify yang harus dilakukan.
4.      Tujuan syariah adalah membawa manusia ke dalam naungan dan perlindungan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Shadiqin , Ali. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012
Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam
DR. Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit Muasasah Ar Risaalah, Beirut 1427H/2006M -cetakan ke 15




[1] Hans wehr, a dictionary of modern written Arabic (London: Mac Donald & Evan Ltd., 1980), hlm.767.
[2] Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.169.
[3] Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, hlm.248
[4] DR. Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushulil Fiqh, Penerbit Muasasah Ar Risaalah, Beirut 1427H/2006M -cetakan ke 15
[5] al Mustashfa Karya Abu Hamid Al Ghazali kitab Al Mustashfa hlm. 21
[6] Ibid.
[7] Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.174-175
[8] Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.175-176
[9] Ali Shadiqin. Fiqh Ushul Fiqh. Beranda.Yogyakarta.2012.hlm.166-168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar