Jumat, 04 Desember 2015

Kelembagaan Peradilan Agama



KELEMBAGAAN PERADILAN AGAMA
Makalah ini Diajukan untuk memenuhi tugas mata Peradilan Islan dan Peradilan Agama
Dosen: Adiyono, S.HI., M.HI.



Disusun oleh:
Darwati Anggraeni     (130711100089)
Devi Nur Afilah          (130711100095)
Syaifudin                    (130711100073)

HUKUM BISNIS SYARI’AH - C
FAKULTAS ILMU - ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
TAHUN AKADEMIK 2015/2016

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian tugas Peradilan Islam dan Peradilan Agama  pada Program Studi Hukum Bisnis Syari’ah. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini dengan baik. Serta tidak segan-segan kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang sedikit banyaknya membantu dalam proses penulisan makalah ini.
Makalah ini kami susun untuk menambah wawasan serta pengetahuan para pembaca tentang “Kelembagaan Peradilan Agama”. Kami mengharapkan agar makalah ini dapat membantu dalam hal peningkatan kompetensi yang baik bagi para pembaca pada umumnya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara penulisan makalah ini, karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan juga bermanfaat bagi penulis khususnya.


Bangkalan, 05 April 2015

  Penyusun



DAFTAR ISI
1.      Cover.................................................................................           0
2.      Kata Pengantar..................................................................           i
3.      Daftar Isi............................................................................           ii
4.      BAB 1 PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.............................................................           1
B.     Rumusan Masalah........................................................           1
C.     Tujuan..........................................................................           1
5.      BAB 2 PEMBAHASAN
A.    Konsep Kelembagaan Peradilan
 Agama dalam Negara.................................................           2
B.     Kelembagaan Peradilan Agama dalam
Struktur Negara...........................................................           3
C.     Susunan dan Struktur Peradilan Agama......................           9
D.    KY dan PA..................................................................           11
E.     Analisi Perkembangan Kelembagaan PA....................           18
6.      BAB 3 KESIMPULAN....................................................           21
7.      DAFTAR PUSTAKA.......................................................           22
8.      LAMPIRAN......................................................................           23

BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan Negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan tugasnya sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang kekuasaan kehakiman.Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu yaitu mereka yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karenanya kami menyusun makalah ini guna untuk memahami dan dapat lebih mengerti tentang Kelembagaan Peradilan Agama.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Konsep Kelembagaan Agama dalam Negara?
2.      Bagaimana Kelembagaan Peradilan Agama dalam Struktur Negara?
3.      Bagaimana Susunan dan Struktur Peradilan Agama?
4.      Apa itu Komisi Yudikatif dan Apa Itu Pengadilan Agama?
5.      Bagaimana Analaisis Perkembangan Kelembagaan Pengdilan Agama?

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui konsep  Kelembagaan Agama dalam Negara.
2.      Untuk mengetahui Kelembagaan Peradilan Agama dalam Struktur Negara.
3.      Memahami Susunan dan Struktur Peradilan Agama.
4.      Mengerti Apa itu Komisi Yudikatif dan Apa Itu Pengadilan Agama
5.      Memahami Bagaimana Analaisis Perkembangan Kelembagaan Pengdilan Agama.



BAB 2
PEMBAHASAN
A.    Konsep Kelembagaan Peradilan Agama dalam Negara

Konsep  hierarki peradilan agama secara instansional  diatur dalam pasal 6 UU No.7 tahun1989.Menurut ketentuan pasal ini secara instansional,lingkugan peradilan agama terdiri dari 2 tingkat :
1.      Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama.
2.      Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.
Makna pengadilan agama  sebagai pengadilan tingkat pertama ialah pengadilan yang bertindak menerima,memeriksa,dan memutus setiap permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah. Pengadilan agama bertindak sebagai peradilan sehari hari menampung pada tahap awal dan memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang diajukan masyarakat mencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu permohonan atau gugatan langsung ke pengadilan tinggi agama. Semua jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui pengadilan agama dalam kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan sebagai instansi pengadilan tingkat pertama,harusn menerima,memeriksa,dan memutusnya,dilarang menolak untuk menerima,memeriksa,dan memutus perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih apapun.Hal ini ditegas kan dalam pasal 56 yang bunyi nya : “ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,melainkan wajib memeriksa dan wajib memutus nya”.
Dari pengertian pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama adalah pengadilan terbawah yang bertindak sebagai pintu gerbang penerimaan, pemeriksaan dan pemetusan setiap perkara. Perkara yang tidak lebih dulu diajukan ke pengadilan agama tidak akan pernah mendapat penyelesaian. Tidak boleh lansung di ajukan ke pengadilan yang lebih tinggi yakni Pengadilan Tinggi. Karena fungsi peradilan yang di berikan undang – undang kepada pengadilan tinggi bukan sebagai pengadilan tingkat pertama, tapi pengadilan tingkat banding.
Pengadilan Tinggi agama kedudukannya sebagai pengadilan tingkat banding, bertindak dan berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang diperiksa dan di putus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding. 
 Susunan pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota madya atau ibu kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama berkedudukan pada setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal dengan sendirinya merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing – masing pengadilan. Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah kota madya atau daerah kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah kewenangan atau kompetensi relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan agama. Daerah hukum masing – masing sesuai dengan daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya luas daerah hukum masing – masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di sesuaikan dengan daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan provinsi.
B.     Kelembagaan Peradilan Agama dalam Struktur Negara
Sebagaiman diuraikan terdahulu bahwa pada zaman Pemerintah Penjajah Hindia Belanda, Kelembagaan Peradilan Agama berada di bawah Departemen Kehakiman (Departemen Van Justitie). Namun demikian, dalam praktiknya tidak pernah ada pembinaan karena memang politik hukum pemerinta Hindia Belanda terhadap peradilan Agama adalah Principle Gebrekig Maar Fitelijk Onmisbar, yang artinya bahwa peradilan agama itu pada prinsipnya tidak  diperlukan, namun kenyataannya harus ada. [1]
Dengan diundangkannya UU Nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, kelembagaan Peradilan Agama masih mengikuti ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Hal ini karena UU Peradilan Agama Tersebut memang mengacu kepada UU kekuasaan kehakiman tahun 1970. Demikian pula dengan struktur kekuasaan negara masih mengacu kepada UUD 1945 sebelum terjadinya amandemen. Pada waktu itu, kelembagaan Peradilan Agama berada di bawah dua lembaga Negara, yaitu mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dan menteri Agama sebagi lembaga Eksekutif di bawah Presiden.
UU nomor 14 tahun 1970 menempatkan kekuasaan kehakiman pada dua kekuasaan penyelenggara Negara yakni Eksekutif dan Yudikatif dengan memisahkan aspek yudisial dan non Yudisial. Aspek Yudisial berada pada mahkamah Agung, Sedangkan aspek non Yudisial yang meliputi Organisasi, administrasi, dan Financial Pengadilan berda di bawah menteri terkait di bawah Presiden. Politik hukum dalam UU kekuasaan kehakiman tersebut melahirkan struktur kekuasaan kehakiman seperti bagan Berikut ini :

STRUKTUR KELEMBAGAAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Description: F:\HBS\semester4\PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA\Untitled-1 copy.jpg

KELEMBAGAAN PERADILAN AGAMA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989





Description: F:\HBS\semester4\PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA\7 th 1989.jpg
                                                           
                                                             Tekhnis Yudisial

                                                             Organisasi Administrasi
                                                             Dan Finansial


Keadaan ini sesuai dengan politik hukum dalam UU No.14 tahun 1970 yang berlaku pada saat ini dimana dominasi eksekutif masih sangat kuat. Posisi kelembagaan Peradilan Agama dapat dilukiskan sebagai berikut

STRUKTUR KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Description: F:\HBS\semester4\PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA\hh.jpg
Keterangan:
1.      DASAR HUKUM                        : Pasal 24 UUD 1945 dan UU  No.14 Tahun 1970
2.      ________________          : JALUR TEKNIS JUSTISIAL
3.      _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _          : JALUR ORGANISASI, ADMINISTRASI DAN FINANSIAL
4.      MAHKAMAH AGUNG MEMPUNYAI ORGANISASI, ADMINISTRASI DAN KEUANGAN TERSENDIRI
5.      Dengan UU No.4 tahun 2004, maka organisasi, administrasi dan finansial  semua pengadilan berada dalan satu atap di bawah mahkamah agung, terlepas dari departemen masing-masing.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa seiring dengan gerakan reformasi, maka struktur kelembagaan Negara mengalami perubahan yang sangat signifikan. Reformasi menghendaki terwujudnya sistem ketatanegaraan  yang memisahkan secara tegas antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif dengan prinsip terciptanya kondisi checks and balance. Pasca Amandemen UUD 1945, maka mahkamah agung merupakan puncak peradilan dan pucuk pimpinan semua pengadilan di Indonesia. Pembinaan dan pengawasan organisasi, administrasi, dan Finansial pengadilan dialihkan dari masing-masing kementrian (departemen) ke mahkamah agung sehingga semua pengadilan berada satu atap di bawah mahkamah agung, baik di bidang teknik yustisial maupun bidang organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan.
STRUKTUR KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA SETELAH AMANDEMEN UUD 1945
Description: F:\HBS\semester4\PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA\sesudah amandemen.jpg
Keterangan :
1.      Dasar hukum : Pasal 24 UUD 1945 dan UU. No. 48 Tahun 2009.
2.      Mahkamah Agung adalah puncak peradilan dan puncak pimpinan semua pengadilan dari empat lingkungan peradilan
Kemudian pasca amandemen UUD 1945, maka mahkamah Agung merupakan puncak peradilan dan pucuk pimpinan semua pengadilan di Indonesia. Dengan demikian, maka struktur organisasi mahkamah agung meliputi seluruh pengadilan yang berada dibawahnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No.5 Tahun 2004, susunan mahkamah agung terdiri atas pimpinan, hakim anggota, panitera dan seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota mahkamah agung, jumlah hakim agung paling banyak 60 orang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 UU No.5 Tahun 2004, pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang panitera dan dibantu oleh beberapa orang panitera Muda dan beberapa panitera pengganti. Diantara panitera  muda tersebut terdapat satu orang panitera muda perdata Agama dan beberapa orang panitera pengganti dari lingkunagn pengadilan agama yang mengurus administrasi persidanangan perkara kasasi dan peninjauan kembali perkara agama.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 25UU No. 5 tahun 2004, pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya sekretaris Mahkamah Agung. Pada Sekretariat mahkamah Agung dibentuk beberapa direktorat Jenderal dan badan yang dipimpin oleh beberapa direktur jenderal dan kepala Badan. Diantara adirektorat Jenderal terdapat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang dipimpin oleh seorang direktur jenderal yang bertugas mengurusi kepaniteraan  pengadilan-pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Struktur organisasi sekretariat Mahkamah Agung adalah sebagaimana bagan di bawah ini
STRUKTUR ORGANISASI SEKRETARIAT MAHKAMAH AGUNG RI
Description: F:\HBS\semester4\PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA\SEKRETARIAT.jpg
Struktur organisasi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah agung adalah sebagaimana bagan dibawah ini. Dalam sejarahnya, lembaga yang mengurus Peradilan Agama ini sudah beberapa kali mengalami perubahan nomenklatur sesuai perkembangan organisasi kementrian agama dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat itu.
STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN AGAMA
C.     Susunan dan Strutur Peradilan Agama
Susunan Organisasi Pengadilan Agama sesuai Bab II,Bagian Pertama,Pasal 9 UU Nomor 7 tahun 1989 terdiri dari :
1.      Pimpinan ;
2.      Hakim Anggota ;
3.      Panitera ;
4.      Sekretaris dan
5.      Juru Sita
Sedangkan pada Pengadilan Tinggi Agama, terdiri dari :
1.      Pimpinan ;
2.      Hakim Anggota ;
3.      Panitera dan
4.      Sekretaris
Description: F:\HBS\semester4\PERADILAN ISLAM DAN PERADILAN AGAMA DI INDONESIA\HHJHJH.jpg

Pengadilan Tinggi agama kedudukannya sebagai pengadilan tingkat banding, bertindak dan berwenang memeriksa ulang suatu perkara yang diperiksa dan di putus oleh pengadilan agama, apabila pihak yang berperkara mengajukan permintaan banding.
Susunan pengadilan agama secara horizontal berkedudukan pada setiap kota madya atau ibu kota kabupaten. Susunan horizontal pengadilan tinggi agama berkedudukan pada setiap ibu kota provinsi. Selanjutnya susunan horizontal dengan sendirinya merupakan penentuan batas kekuasaan daerah hukum masing – masing pengadilan. Daerah hukum pengadilan agama hanya meliputi daerah kota madya atau daerah kabupaten dimana ia terletak. Seluas daerah itulah kewenangan atau kompetensi relatifnya. Begitu juga daerah hukum pengadilan agama. Daerah hukum masing – masing sesuai dengan daerah provinsi dimana dia terletak. Memang pada dasarnya luas daerah hukum masing – masing pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di sesuaikan dengan daerah hukum pemerintahan kota madya atau kabupaten dan provinsi.

D.    Komisi Yudisial dan Peradilan Agama
1.      Komisi Yudisial
Komisi Yudisial Republik Indonesia atau cukup disebut Komisi Yudisial (disingkat KY RI atau KY) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.  Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.Komisi Yudisial bertanggungjawab kepada publik melalui DPR, dengan cara menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
a.       Dasar Hukum
1)      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
a)      Pasal 24A ayat (3):Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
b)      Pasal 24B:
1.      Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,serta perilaku hakim.
2.      Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.
3.      Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
4.      Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.
2)      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.
3)      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
4)      Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Hakim.
5)      Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
6)      Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
7)      Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
8)      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial.

b.      Tujuan Pembentukan
Tujuan dibentuknya Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah
1.      Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri  untuk menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
Sementara menurut A. Ahsin Thohari dalam bukunya Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), di bebarapa negara, Komisi Yudisial muncul sebagai akibat dari salah satu atau lebih dari lima hal sebagai berikut[4]:
1.      Lemahnya pengawasan secara intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena pengawasan hanya dilakukan secara internal saja.
2.      Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah (executive power) –dalam hal ini Departemen Kehakiman– dan kekuasaan kehakiman(judicial power).
3.      Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektivitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum.
4.      Tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan kurang memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah lembaga khusus.
5.      Pola rekruitmen hakim selama ini dianggap terlalu bias dengan masalah politik, karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik, yaitu presiden atau parlemen.
Sedangkan tujuan pembentukan Komisi Yudisial menurut A. Ahsin Thohari adalah :
1.      Melakukan monitoring yang intensif terhadap lembaga peradilan dengan cara melibatkan unsur-unsur masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya monitoring secara internal saja. Monitoring secara internal dikhawatirkanmenimbulkan semangat korps (l’esprit de corps), sehingga objektivitasnya sangat diragukan.
2.      Menjadi perantara (mediator) antara lembaga peradilan dengan Departemen Kehakiman. Dengan demikian, lembaga peradilan tidak perlu lagi mengurus persoalan-persoalan teknis non-hukum, karena semuanya telah ditangani oleh Komisi Yudisial. Sebelumnya, lembaga peradilan harus melakukan sendiri hubungan tersebut, sehingga hal ini mengakibatkan adanya hubungan pertanggungjawaban dari lembaga peradilan kepada Departemen Kehakiman. Hubungan pertanggungjawaban ini menempatkan lembaga peradilan sebagai subordinasi Departemen Kehakiman yang membahayakan independensinya.
3.      Meningkatkan efisiensi dan efektivitas lembaga peradilan dalam banyak aspek, karena tidak lagi disibukkan dengan hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan aspek hukum seperti rekruitmen dan monitoring hakim serta pengelolaan keuangan lembaga peradilan. Dengan demikian, lembaga peradilan dapat lebih berkonsentrasi untuk meningkatkan kemampuan intelektualitasnya yang diperlukan untuk memutus suatu perkara.
4.      Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan, karena senantiasa diawasi secara intensif oleh lembaga yang benar-benar independen. Di sini diharapkan inkonsistensi putusan lembaga peradilan tidak terjadi lagi, karena setiap putusan akan memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari Komisi Yudisial. Dengan demikian, putusan-putusan yang dianggap kontroversial dan mencederai rasa keadilan masyarakat dapat diminimalisasi kalau bukan dieliminasi.
5.      Meminimalisasi terjadinya politisasi terhadap rekruitmen hakim, karena lembaga yang mengusulkan adalah lembaga hukum yang bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan lain, bukan lembaga politik lagi, sehingga diidealkan kepentingan-kepentingan politik tidak lagi ikut menentukan rekrutmen hakim yang ada.
c.       Wewenang dan Tugas
1.      Wewenang
Sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a)      Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b)      Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c)      Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
d)     Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
2.      Tugas
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, maka Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a)      Melakukan pendaftaran calon hakim agung;
b)      Melakukan seleksi terhadap calon hakim agung;
c)      Menetapkan calon hakim agung; dan
d)     Mengajukan calon hakim agung ke DPR.
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 mengatur bahwa:
a)      Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
·         Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;
·         Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
·         Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
·         Memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim,
·         Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.
b)      Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial juga mempunyai tugas mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim;
c)      Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
d)     Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
2.      Peradilan Agama
Peradailan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia.[3] Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili Perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan Rakyat tertentu.[4] Dalam hal ini Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara perdata-perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya. Seluruhnya adalah jenis perkara menurut Agama Islam. Dirangkaikannnya kata-kata “ Peradilan Islam” dengan kata-kata “di Indonesia” adalah karena jenis perkara yang ia boleh mengadilinya tersebut tidaklah mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara Universal. Tegasnya, Peradialan Agama adalah Peradilan Islam limitatif, yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan Indonesia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis perkara perdata islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.  [5]

E.     Analisis Perkembangan Kelembagaan PA[6]
1.      Perkembangan Kelembagaan Peradilan agama
Perkembangan Peradilan Agama mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal itu terbukti dengan masuknya Peradilan Agama dalam struktur organisasi negara sejak keluarnya undang-undang No. 19 Tahun 1965 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kahakiman.
Peradilan agama terdiri atas pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertamadan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding yang berpuncak pada MA. Kantor pengadilan dibuat berjenjang dengan sistem kelas. Namun mengakibatkan ketidak setaraan antara pengadilan dan penempatan kedudukan pengadilan lebih rendah dibanding lembaga eksekutif dan legislatif di semua susunan pemerintahan.
Dengan bertambahnya tahun jumlah kantor PA mengalami perkembangan dan saat ini jumlah kantor pengadilan agama ada 343 dan kantor pengadilan tinggi agama ada 29 di seluruh Indonesia. Namun struktur organisasi pengadilan tidak mengalami perubahan sejak keluarnya UU No. 7 Tahun 1989.  Perkembangan hanya terjadi pada  sistem peradilan nasional yang satu atap dibawah Mahkamah Agung.
Perkembangan juga terjadi pada ketenagaan pengadilan secara kuantitatif dan kualiatif . hal itu menjadikan kesigapan dan kesiapan pengadilan agama dalam mengemban tugas melayani hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Kemudian pembinan pengadilan mengalami perubahan secara mendasar. Jika semula pembinaan dilakukan oleh MA dibidang teknis yudisial, dan menteri agama, maka sekarang hanya  dilakukan oleh MA dibidang teknis yudsial saja. Dalam pengawasan juga mengalami perkembangan. Dimana pengawasan dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisal. Berikut perkembangan kelembagaan peradilan dari 1989 sampai 2009
Tahun 1989
Tahun 2009
Kelembagaan yang lingkungannya terdiri dari mandiri yang di jamin UU
Kelembagaan yang lingkungannya terdiri dari mandiri yang di jamin UUD
Pembinan dan pengawasan di teknisi yudisialdan dilakukan oleh Menteri Agama
Pembinan dan pengawasan dilakukan oleh teknis yustisialdan, hakim, aparat hukum, MA, dan Komisi Yudikatif

2.      Perkembangan Politik Hukum Kelembagaan Peradilan Agama
Kelembagaan secara bertahap telah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia seiring berjalannya waktu. Dalam hal ini politik hukum telah menempatkan PA  secara proporsional sebagai lembaga negara dan simbol syariah sesuai konstitusi dan syariah islam. Hal itu telah terbukti dengan beberapa hl sebagai berikut:
a.       Kewajiban untuk membentuk lembaga peradilan syariah negara telh dilakukan sesuai konstitusi dan syariah islam.
b.      Deindividualisasi hakim sebagai simbol syariah telah terwujud sesuai ajaran syariah dan memenuhi syarat sebagai hakim peradilan negara.
c.       Syarat-syarat hakim menurut syariat islam telah dilaksanakan dengan kekuatan undang-undang. Dan syarat sebagai pegawai peradilan agama dijamin dalam undang-undang.
d.      Instansi kantor pengadilan merupakan kantor tersendiridan dilingkungan tersendiri.
e.       Susunan pengadilan dalam sistem peradilan nasional telah sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan syariah islam.
f.       Perempuan bisa menjadi hakim.
g.      PA sebagai lembaga penyelenggara negara telah mendapat anggaran dan sarana prasarana  dari negara.
h.      Peradilan agama merupakan bagian dari Mahkamah Agung.[7]














BAB 3
KESIMPULAN
Konsep  hierarki peradilan agama secara instansional  diatur dalam pasal 6 UU No.7 tahun1989.Menurut ketentuan pasal ini secara instansional,lingkugan peradilan agama terdiri dari 2 tingkat :
1.      Pengadilan agama sebagai pengadilan tingkat pertama.
2.      Pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding
 Reformasi menghendaki terwujudnya sistem ketatanegaraan  yang memisahkan secara tegas antara kekuasaan yudikatif dan eksekutif dengan prinsip terciptanya kondisi checks and balance. Pasca Amandemen UUD 1945, maka mahkamah agung merupakan puncak peradilan dan pucuk pimpinan semua pengadilan di Indonesia.
Komisi Yudisial Republik Indonesia atau cukup disebut Komisi Yudisial (disingkat KY RI atau KY) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.  
Peradailan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kelembagaan secara bertahap telah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia seiring berjalannya waktu. Dalam hal ini politik hukum telah menempatkan PA  secara proporsional sebagai lembaga negara dan simbol syariah sesuai konstitusi dan syariah islam


DAFTAR PUSTAKA

Arto Mukti, Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.Yogyakarta.Pustaka Pelajar. 2011 .
Rasyid Roihan A. Hukum acara Peradilan Islam. Jakarta. Grafindo Persada. 2013.
www.rasihonanwar.blogspot.com



[1] Dr. Mukti Arto, S.H.,M.Hum.Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.Pustaka Pelajar. Hlm 226-227
[2] Dr. Mukti Arto, S.H.,M.Hum.Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.Yogyakarta.Pustaka Pelajar. 2011 .Hlm 229-237
[3] Uu No.14 Tahun 1970, LN 1970-74, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, Pasal 10 ayat (1), kata-kata “Peradilan Negara” dan “kekuasaan Kehakiman” adalah semakna.
[4] Ibid, Penjelasan Pasal 10 ayat(1)
[5] Roihan A Rasyid. Hukum acara Peradilan Islam. Jakarta. Grafindo Persada. 2013. Hlm 5-6
[6] Dr. H.Roihan.A. Rasyid,S.H.,M.A. Hukum Acara Peradilan Agama.Jakarta.Raja Grafindo Persada.2013.hlm 5-6
[7] Dr. Mukti Arto, S.H.,M.Hum.Peradilan Agama dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.Yogyakarta.Pustaka Pelajar. 2011 .Hlm 238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar